Filosofi Bungkus dan Isi

Ada sebuah kisah tentang seorang penasihat kerajaan yang sangat  disegani.  Penasihat ini buruk rupa dan bongkok, namun kata-katanya sangat didengar oleh raja.   Melihat fakta ini, putri sang raja heran dan iri.  Suatu saat sang putri mengejek dan bertanya kepada penasihat ini, “Jika engkau bijaksana, beri tahu aku mengapa Tuhan menyimpan kebijaksanaan-Nya dalam diri orang yang buruk rupa dan bongkok?”

Baca lebih lanjut

Menyederhanakan Sesuatu, Meminimalisir Input Memaksimalkan Output

Sesungguhnya hidup sederhana termasuk cabang dari iman. (Ash-Shahîhah, 341)

Ada seorang lelaki tua tiba di sebuah desa setelah melalui perjalanan panjang yang melelahkan. Seorang arif dan kaya raya mempersilahkan lelaki tersebut mampir sejenak ke rumahnya. Kemudian pria kaya tersebut menghidangkan beraneka macam minuman dan masakan.

Lelaki tua itu hanya memandangi semua makan lezat dan minuman yang terhidang. Dengan santun ia bertanya, “Bolehkah saya meminta secangkir kopi?” Sebuah permintaan yang sangat sederhana.

“Hanya itu?” Kata sang pemilik rumah kembali bertanya.

“Ya Tuan, hanya itu,” jawab lelaki tua tersebut.

Kemudian lelaki itu pun langsung meminum segelas kopi yang telah dihidangkan. Nampak ia betul-betul menikmati setiap teguk kopi yang ia minum sampai habis. Melihat pemandangan tersebut membuat sang pemilik rumah menawarkan secangkir kopi lagi. Tetapi lelaki tersebut menolak dengan bahasa yang sangat santun.

“Kenapa?” Tanya sang pemilik rumah keheranan.

“Karena saya tidak ingin kenikmatan dari secangkir kopi yang sebelumnya akan berkurang,” jawab lelaki tersebut sambil tersenyum. Baca lebih lanjut

Mengenal Diri Sendiri, Menuju Pencarian Sesuatu Yang Paling Berarti Sesungguhnya

Dalam hidup ini, manusia selalu mencari dan mendambakan sesuatu yang berarti dalam hidupnya. Memiliki sesuatu yang berarti, untuk membuat hidupnya terpandang dan terhormat, bangga dan menaikan gengsinya sebagai makhluk sosial, sehingga memuaskan hasratnya untuk merasakan bahagia.

Namun sayang sekali, kita sebagai manusia ternyata selalu ingin menjadikan hidupnya berarti dengan berusaha untuk mencari hal-hal yang bukan inti. Ada banyak diantara kita misalnya, yang sibuk mencari uang hingga menelantarkan keluarga. Atau sibuk mengumpulkan kekayaan dan merumitkan tetek bengek kehidupan, tanpa bisa menikmati bahwa kebahagiaan itu sebenarnya telah ada dan berasal dari hal-hal sederhana. Baca lebih lanjut

Menjadi Yang Terbaik

Alkisah, lahirlah dua macam uang kertas pada waktu yang bersamaan, merekapun terlahir dari bahan yang sama dan sama-sama diedarkan oleh Bank Indonesia (BI). Ketika dicetak, mereka pun berbarengan, tetapi akhirnya berpisah dan beredar di masyarakat.

Ternyata takdir mempertemukan mereka kembali, setelah 1 tahun kemudian, mereka bertemu secara tidak sengaja di dalam dompet seorang pemuda. Maka mereka pun ngobrol.

Uang Rp 100.000 bertanya kepada Rp 1.000, “Kenapa badan kamu begitu lusuh, kotor dan berbau amis ?”

“Karena begitu aku keluar dari bank, terus ke tangan orang bawah dari kalangan buruh, penjaja-penjaja kecil, penjual ikan dan di tangan pengemis” Uang Rp 1.000 menjawab.

Lalu uang Rp 1.000 bertanya balik kepada uang Rp 100.000, “Kenapa kau masih tampil begitu baru, rapi dan bersih?”

“Karena begitu aku keluar dari bank, terus disambut para perempuan cantik, dan beredarnya pun di restoran mahal, di kompleks, di mall bergengsi dan juga hotel berbintang, serta keberadaanku selalu dijaga dan jarang keluar dari dompet.” Jawab uang Rp 100.000 dengan sombongnya.

“Pernahkah engkau berada di tempat ibadah ?” Uang Rp 1.000 bertanya lagi.

“Belum pernah” Jawab uang Rp. 100.000 sambil mengerenyitkan dahi dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

Uang Rp 1.000 pun berkata lagi, “Ketahuilah walaupun aku hanya uang Rp 1.000 tetapi aku selalu berada di seluruh tempat ibadah, di tangan anak yatim piatu serta fakir miskin. Bahkan aku bersyukur kepada Tuhan semesta alam, karena aku tidak dipandang sebagai sebuah nilai, tetapi Sebuah Manfaat!”

Lantas menangislah uang Rp 100.000, karena merasa besar, karena merasa hebat, karena merasa tinggi, akan tetapi tidak begitu bermanfaat untuk kebaikan selama ini. Baca lebih lanjut

Menjadi Besar Karena Menjadi Diri Sendiri Yang Apa Adanya

“seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya

memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti

memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan

kaki-kaki yang nyaman dalam sepatunya akan berbaris rapi-rapi”

Puisi Karya Salim A. Fillah

Umar, jagoan yang biasa bergulat di Ukazh, tumbuh di tengah bani Makhzum nan keras dan bani Adi nan jantan. Sifat-sifat itu –keras, jantan, tegas, bertanggungjawab dan ringan tangan turun gelanggang – dibawa Umar, menjadi ciri khas kepemimpinannya.

Utsman, lelaki pemalu, anak tersayang kabilahnya, datang dari keluarga bani Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman sentosa. Rasa malulah yang menjadi akhlaq cantiknya. Kehalusan budi perhiasannya. Kedermawanan yang jadi jiwanya. Baca lebih lanjut

Berpikir Besar, Jadilah Orang Besar!

“Aku sesuai prasangka hamba-Ku pada-Ku dan Aku bersamanya apabila ia memohon kepada-Ku.” (HR. Muslim)

think_big1Di sebuah desa kecil ada seorang anak yang sedang berjalan melintasi lokasi yang akan dibangun sebuah sekolah. Anak itu melihat ada 3 orang yang sedang bekerja disana.

“Pak, sedang mengerjakan apa?” Tanya anak itu kepada tukang pertama.

“Kamu bisa lihat sendiri, saya ini seorang tukang, saya sedang mengerjakan pekerjaan saya sebagai tukang bangunan” jawabnya.

Lalu anak itu menanyakan pertanyaan yang sama kepada tukang kedua, “Pak, sedang mengerjakan apa?”

“Saya sedang membantu sekolahan ini membuat gedung sekolah.” Jawab tukang kedua.

Lalu anak itu juga menanyakan pertanyaan yang sama kepada tukang ketiga, “Pak, sedang mengerjakan apa?”

Tukang ketiga menjawab, “Saya sedang membangun mimpi anak-anak di desa ini supaya mereka berani bermimpi lebih tinggi dan meraih cita-citanya, sehingga mereka membawa manfaat di masyarakat.”

Ketiga jawaban dari ketiga tukang itu berbeda, itulah yang disebut dengan visi… Kita mungkin melakukan hal yang sama persis dengan orang lain, tapi milikilah visi yang jauh didepan dan mampu menggetarkan jiwa bagi siapa saja yang mendengarnya. Baca lebih lanjut

Mulutmu Harimaumu, Bertutur Kata yang Baik Atau Diam!

“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari kemudian, hendaklah ia bertutur kata yang baik atau lebih baik diam” (HR. Bukhari dan Muslim)

Alkisah, setelah kepemerintahan Khulafaur Rasyidin berakhir (era tabi’in), di kota Baserah, Irak, hiduplah seorang ulama besar yang bernama Imam Hasan Al-Bashri. Beliau adalah ulama tabi’in terkemuka. Meskipun menyandang predikat sebagai ulama besar, tapi beliau jauh dari sifat sombong. Kehidupan dunia dijalani dengan sederhana dan berbuat baik dengan semua orang dari semua kalangan. Oleh karena itu beliau dicintai oleh rakyat kecil dan disegani oleh orang-orang besar.

Imam Hasan Al Bashri tinggal di sebuah rumah susun yang sederhana. Beliau bertetangga dengan seorang nasrani yang tinggal dilantai atas rumahnya. Tetangganya ini, si nasrani, memiliki toilet  tempat buang air kecil yang letaknya persis di atas kamar tidur Sang Imam. Dia tidak tahu bahwa pipa saluran pembuangan air toiletnya sudah bocor. Jadi, setiap dia buang air kecil sebagian airnya merembes dan menetes ke kamar tidur Imam Hasan Al Bashri. Bisa kita bayangkan betapa menjijikkannya air yang jatuh itu.

Sebagian besar dari kita pastilah akan cepat-cepat memberitahukan tentang keadaan buruk itu kepada tetangga tersebut sesegera mungkin. Tak perlu menunggu sehari atau dua hari. Tentu saja kita akan dengan lancang mendatangi dan menggedor pintunya dengan raut muka yang tidak sedap dilihat karena marah. Apalagi orang yang melakukan itu adalah seorang nasrani, kaum minoritas pada masa itu. Baca lebih lanjut

Sekolah Itu Seharusnya Menjadikan Kita Manusia, Bukan Robot!

equilibrium-robot-artwork-by-daniel-arnold-mist

Membuka dan membaca mushaf Al-Qur’an, kita akan menemukan ratusan ayat yang membicarakan tentang petunjuk untuk memperhatikan bagaimana cara kerja Alam dunia ini. Tidak kurang dari 700 ayat dari 6000-an ayat Al-Qur’an memberikan gambaran kepada manusia untuk memperhatikan alam sekitarnya. Selain itu, biasanya ayat-ayat yang membahasnya diawali maupun diakhiri dengan sindiran-sindiran seperti; “apakah kamu tidak memperhatikan?”, “Apakah kamu tidak berpikir?”, “Apakah kamu tidak mendengar?”, “Apakah kamu tidak melihat?”. Sering pula di akhiri dengan kalimat seperti “Sebagai tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”, “Tidak dipahami kecuali oleh Ulul Albaab“. Demikianlah Mukjizat terakhir Rasul, yang selalu mengingatkan manusia untuk mendengar, melihat, berpikir, merenung, serta memperhatikan segala hal yang diciptakan Allah di dunia ini. Baca lebih lanjut

Sumpah Pemuda dan Makanan Asli Indonesia

sumpah_pemuda_by_ayib-d5jlt57“Emang orang Indonesia harus makan pizza? Lalu mengapa orang Italia tidak kenal karedok?” Pertanyaan balik saya, ketika ada seseorang yang menyebutkan makan pizza adalah tren terkini dan dampak globalisasi. Jujur, saya mencurigai istilah globalisasi atau apalah itu sebagai penghalusan dari ekspansi politik ekonomi pangan, yang begitu mulusnya menggelincir seperti hipnosis terselubung, “Indonesia begitu kaya loh dengan puluhan varian ubi, hingga talas, ganyong, kimpul, dan berderet sumber karbohidrat lain. Jadi buat apa kita makan pizza?”

”Oh ya! pizza juga bisa lho dibuat dari bahan umbi!” Ya Tuhan, dipaksakan lagi. Malu kah bangsa ini makan ubi rebus?

Globalisasi tidak selayaknya membuat kita lupa sebagai orang Indonesia. Tidak semuanya harus sama dimana-mana. Kita indah, karena kita punya apa yang mereka tidak punya. Biarkan Jepang punya onigiri, kita punya lemper. Yang tidak boleh dan tidak etis, bila kita bilang lemper atau arem-arem isi oncom itu kampungan dan onigiri keren. Baca lebih lanjut

Kisah Monyet, Angin dan Negeri 4 Musim

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Manfaatkan lima perkara sebelum lima perkara : Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu, Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu, Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu, Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu, Hidupmu sebelum datang kematianmu.” (HR. Al Hakim)

Alkisah, di sebuah hutan, tampak seekor monyet sedang bergelantungan di pepohonan. Tak jauh dari sana, ada sekelompok angin yang sedang bertiup. Ada angin topan, angin puting beliung, serta ada angin badai. Ketiga jenis angin itu sedang berdebat tentang siapa yang paling hebat di antara mereka.

Makin lama, adu mulut ketiga angin itu makin seru. Maka, karena tak ada yang mengalah, mereka pun sepakat untuk saling adu kekuatan. Mereka lalu melihat sekelilingnya. Dan tampaklah di dekat mereka, monyet yang sedang asyik bergelantungan itu. Ketiga angin pun sepakat adu kuat dengan berusaha menjatuhkan monyet dari pohon. Baca lebih lanjut